Setitik Cahaya dari Alam
Oleh: Maria Estrella
Fritzca Aprilianne
Tetes-tetes
air hujan masih saja hadir di serambi sebuah rumah yang bisa hampir menyerupai
gubuk. Rumah yang terletak di sebuah desa terpencil yang notabene cukup
beruntung sebab di desa tersebut berdiri sebuah perusahaan nikel terbesar di
Indonesia. Entah apa yang hujan tunggu. Mungkin saja kehadiran mamak yang belum
pulang dari sawah. Ternyata benar, baru saja mamak menampakkan batang hidungnya
di sebelah rumah, hujan perlahan berhenti. Bocah berkulit sawo matang itu dengan
senyum tulus menyambut mamak sambil tetap memeluk buku Kimia SMP di antara paha
dan dadanya, tapi sama saja, hanya amarah yang ia dapatkan dari ibu separuh
baya itu.
“Kamu ini! Bukannya datang payungin mamak, malah
senyam-senyum! Tuh sana! Bawa masuk rantang dan cangkul ke dalam rumah.” kata
mamak dengan nada suara yang cukup merusak gendang telinga.
“Iya, Mak.” jawab si anak dengan setengah sedih
mendengar mamak memarahinya.
Ya, begitulah kehidupan anak dan ibu itu sehari-hari.
Terkadang niat baiknya dibalas dengan bentakkan sang ibu. Dialah Dayat, anak
dari seorang janda yang berprofesi sebagai petani di Soroako.
Suatu
pagi di hari Sabtu, seperti biasa Dayat dan Risto, tetangganya, pergi ke suatu
tempat wisata bahari di kecamatan Nuha, yaitu Danau Matano. Tanpa pamitan pada
mamak yang sedang menjemur beberapa potong pakaian di samping rumah, mereka pun
dengan gesit mengayuh sepeda menuju danau.
Setibanya mereka di sana, hamparan
buah-buah dengen di pesisir danau yang
jatuh dari pohonnya menjadi pemandangan pertama yang dijumpai.
“Mmm, kayaknya seger nih makan dengen pagi-pagi.”
ujar Risto yang sudah tidak disadari telah mendahului Dayat.
“Jangan, Ris. Nggak bagus pagi-pagi udah makan yang
asem-asem. Udah kena tanah lagi buahnya. Entar perut kamu mules lagi.” saran
Dayat padanya.
“Dikit aja, Yat. Kamu nih manja banget. Nih, aku
buka satu, ya.” sahut Risto dengan sedikit menggoda.
“Yaelah, keras kepala banget sih, Ris.” komentar
Dayat dengan judes.
“Uuuhh, asem banget! Tapi enak loh, hehehe. Cobain
gih, Yat.” ucapnya sambil menyodorkan buah dengen ke mulut bocah kulit sawo
matang itu.
“Eh, aku ada ide nih. Kita main perang dengen yuk.
Mau nggak?” tanya Risto dengan muka-muka liciknya. Tanpa sempat mendengar
larangan Dayat, ia pun mengambil sebuah dengen dari tanah dan langsung saja
melempari tubuh Dayat dengan dengen tersebut. Sekali-kali, lemparannya meleset
dari sasaran dan mengenai pengunjung yang mulai berdatangan untuk mengisi weekend mereka.
Tiba-tiba,
di tengah keseruan mereka bermain, bu Aini, guru Kimia mereka di sekolah,
menghampiri kedua anak itu. Dengan tidak sengaja, lemparan Dayat dan Risto
langsung mengenai guru mereka itu.
“Ckck, kalian
ini. Daripada kalian bermain yang dapat membahayakan orang lain itu, lebih baik
gunakanlah buah-buah dengen ini agar bermanfaat untuk orang banyak.” kata bu
Aini.
“Maksud Ibu?” tanya Risto dengan spontan.
“Cepat kumpulkan semua buah ini dan ikut ibu!” balas
bu Aini tanpa menghiraukan pertanyaan Risto sebelumnya. Setelah dengen-dengen
itu terkumpul cukup banyak, bu Aini langsung mengajak mereka ke suatu tempat.
“Kemarin
ibu mendapat kiriman email dari teman ibu di Surabaya bahwa akan ada Lomba
Karya Ilmiah tingkat SMP. Karyanya bertemakan pemanfaatan hasil alam dari
daerah asal masing-masing. Hadiahnya lumayan besar. Ibu langsung kepikiran
dengan buah khas dari Nuha ini, yaitu buah dengen. Kebetulan tadi Ibu ketemu
dengan kalian, ya udah Ibu ajak aja kalian untuk ikut lomba ini.” jelas bu Aini
panjang lebar.
“Lah, terus, kita mau buat apa dengan buah-buah ini,
Bu?” tanya Dayat.
“Kita akan buat pembangkit listrik sederhana dari
tenaga asam buah dengen. Gimana, bagus kan?” usul bu Aini.
“Hah? Emangnya bisa, Bu? Selama ini kan yang ada cuma
pake tenaga air, angin, sama panas matahari doang.” sahut Risto.
“Bisa, nanti kalian akan mempelajari tentang
sifat-sifat asam-basa di SMA. Jadi, kalian mau kan ikut lomba ini?” tanya bu
Aini memastikan.
“Mau, Bu!” jawab Dayat dan Risto serentak.
Tak
terasa, azan dzuhur mulai berkumandang. Betapa lamanya waktu mereka habiskan
untuk membicarakan proyek perlombaan. Akhirnya, Risto dan Dayat pulang ke rumah
masing-masing. Niat Risto yang ingin memberitahu mamak bahwa ia akan mengikuti
lomba tingkat nasional, lagi-lagi dibalas dengan amarah. Jelas saja mamak
marah, tadi pagi Dayat meninggalkan rumah tanpa pamitan. “Mak, Dayat dan Risto
bakal ikut Lomba Karya Ilmiah! Hebat kan?” Dayat mulai membuka pembicaraan
siang itu.
“Oh, ya? Memangnya kalian mau buat apa? Kamu mau
dapat uang dari mana untuk ikut lomba gituan? Ada-ada saja kau ini.” balas
mamak.
“Nggak bakal mungut biaya dari kita kok, Mak. Bahan
proyeknya pun tinggal mungut di pinggir danau. Kita bakal buat buah dengen jadi
pembangkit listrik tenaga alternatif. Keren kan? Ini semua idenya bu Aini.
Beliau yang ngajak Dayat bareng Risto.” jelas Dayat. Sambil tersenyum, ibu
Dayat berkata, “Kalau begitu, kau belajar baik-baik dan persiapkan dirimu untuk
lomba ini, ya. Maafkan mamak kalau sering memarahimu.” Dengan spontan, Dayat
pun tersenyum dan segera memeluk ibunya
Keesokan
harinya di bawah teriknya sang surya, Risto dan Dayat berjalan menyusuri
pinggir Danau Matano untuk mengumpulkan lebih banyak lagi buah dengen sebagai
tambahan kemarin. Setelah terkumpul banyak, mereka pun bergegas ke rumah bu
Aini untuk melakukan eksperimen proyek mereka.
“Selamat siang. Bu Aini!” sahut mereka dari luar
rumah.
“Eh, kalian udah pada dateng. Ayo masuk!”, ajak bu Aini
kepada kedua muridnya itu. Mereka pun masuk dan berkumpul di dapur. Siang itu
menjadi hari yang menyibukkan bagi Dayat, Risto, dan tentu saja bu Aini.
Berbekal dengen, blender, elektroda, dan
papan indikator mereka melakukan percobaan. Berkali-kali mereka mengalami
kegagalan. Entah itu karena ada sambungan pada kabel elektroda yang putus
ataupun pH dari asam buah dengennya.
“Duh, gimana nih? Dari tadi lampu indikatornya nggak
ada yang nyala.” keluh Dayat pada kedua rekan kerjanya.
“Iya, gimana dong, Bu?” Risto pun mulai ikut panik.
“Tenang, kita sama-sama mencari sumber masalahnya.
Kalian jangan putus asa, ya?” Bu Aini memberikan mereka semangat.
Akhirnya,
percobaan mereka berhasil. Kerja keras mereka akhirnya terbayar. Seminggu
kemudian mereka siap-siap terbang ke Surabaya untuk mempresentasikan hasil
karya ilmiah mereka yang inovatif dan ramah lingkungan.
“Yat, kita udah ada di pulau Jawa! Selama ini, untuk
ke Makassar aja kita susah banget, nah sekarang kita bahkan udah ada di
Surabaya.” kata Risto penuh semangat di salah satu aula fakultas di Institut
Teknologi Surabaya.
“Alhamdulilah, Ris. Nggak sia-sia kita main perang
dengen waktu itu. Hehehe.” balas Dayat dengan canda sambil menyinggung bu Aini
secara tidak langsung.
“Anak-anak, kalian presentasinya yang bagus, ya. Pede aja, jangan sampai blank. Ibu yakin, kalian pasti bisa.” seru
bu Aini memberikan support kepada
anak-anak didiknya.
“Iya, Bu. Makasih buat semangatnya ya, Bu.”
Presentasi
pun dimulai. Seluruh peserta dari seluruh Indonesia bersatu di ruangan
tersebut, ruangan yang akan menjadi saksi bisu tumbuhnya tunas-tunas baru
harapan bangsa dan tentunya daerah asal masing-masing. Kini, tiba giliran
perwakilan dari sekolah Dayat dan Risto untuk mempresentasikan karya ilmiah
mereka yang tergolong sederhana, namun sangat inovatif. Secara bergantian
mereka menjelaskan asal mula dan proses kerja proyek mereka di depan dewan juri
dan para peserta lainnya. Waktu pun terus bergulir dan akhirnya sesi presentasi
selesai. Dewan juri pun telah menentukan karya siapa yang berhak menjadi juara
untuk Lomba Karya Ilmiah SMP itu.
Tibalah
dewan juri mengumumkan pemenang lomba. “Dan yang menjadi pemenang Lomba Karya
Ilmiah tahun 2015 adalah.....SMPN 7 Nuha!”. Terkejut. Ya, itulah yang dirasakan
ketiga orang tersebut. Dengan kaki yang tak bisa berhenti bergetar, Dayat dan
Risto maju mengambil piala penghargaan.
“Selamat Dayat, Risto. Ibu bangga sama kalian!”,
ucap bu Aini sambil menyalami kedua anak itu.
“Ini semua berkat Ibu! Ibulah yang telah mengajak
kami untuk mengikuti kompetisi ini. Terima kasih banyak, Bu.” jawab Risto
sambil memeluk ibu gurunya itu. Mereka pun kembali ke Sulawesi dengan perasaan
yang campur aduk, salah satunya adalah rindu ingin bertemu keluarga.
Sepuluh
tahun kemudian, desa tempat tinggal Dayat dan Risto sudah tidak lagi menjadi
tempat beroperasinya perusahaan nikel tersebut. Suplai listrik yang susah
kembali menjadi kekhawatiran warga desa. Namun, semua kekhawatiran itu telah
dimusnahkan oleh seorang pemuda asal desa itu sendiri. Dayat, bocah berkulit
sawo matang itu telah tumbuh dewasa. Prestasi yang pernah ia raih bersama
sahabat dan guru Kimianya itu mengantarkan ia menjadi seorang pengusaha sukses
dari kecamatan Nuha, bahkan di kabupaten tempat ia berdomisili. Walaupun sudah
berhasil dan mapan, ia berjanji tidak akan pernah meninggalkan tanah kelahiran
dan tempat ia tumbuh, Soroako. Mulai saat itu, Desa Soroako dapat memancarkan
sinarnya sendiri di malam hari. Tidak dengan tenaga air, angin, ataupun
panasnya matahari yang sering membakar tubuh Dayat saat ia kecil dulu,
melainkan dari hasil alam yang dahulu sering tidak dipedulikan oleh masyarakat,
yakni buah dengen
*** End***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar