Jumat, 14 Agustus 2015

Setitik Cahaya dari Alam

Setitik Cahaya dari Alam
Oleh: Maria Estrella Fritzca Aprilianne



            Tetes-tetes air hujan masih saja hadir di serambi sebuah rumah yang bisa hampir menyerupai gubuk. Rumah yang terletak di sebuah desa terpencil yang notabene cukup beruntung sebab di desa tersebut berdiri sebuah perusahaan nikel terbesar di Indonesia. Entah apa yang hujan tunggu. Mungkin saja kehadiran mamak yang belum pulang dari sawah. Ternyata benar, baru saja mamak menampakkan batang hidungnya di sebelah rumah, hujan perlahan berhenti. Bocah berkulit sawo matang itu dengan senyum tulus menyambut mamak sambil tetap memeluk buku Kimia SMP di antara paha dan dadanya, tapi sama saja, hanya amarah yang ia dapatkan dari ibu separuh baya itu.
“Kamu ini! Bukannya datang payungin mamak, malah senyam-senyum! Tuh sana! Bawa masuk rantang dan cangkul ke dalam rumah.” kata mamak dengan nada suara yang cukup merusak gendang telinga.
“Iya, Mak.” jawab si anak dengan setengah sedih mendengar mamak memarahinya.
Ya, begitulah kehidupan anak dan ibu itu sehari-hari. Terkadang niat baiknya dibalas dengan bentakkan sang ibu. Dialah Dayat, anak dari seorang janda yang berprofesi sebagai petani di Soroako.
            Suatu pagi di hari Sabtu, seperti biasa Dayat dan Risto, tetangganya, pergi ke suatu tempat wisata bahari di kecamatan Nuha, yaitu Danau Matano. Tanpa pamitan pada mamak yang sedang menjemur beberapa potong pakaian di samping rumah, mereka pun dengan gesit mengayuh sepeda menuju danau.
Setibanya mereka di sana, hamparan buah-buah dengen  di pesisir danau yang jatuh dari pohonnya menjadi pemandangan pertama yang dijumpai.
“Mmm, kayaknya seger nih makan dengen pagi-pagi.” ujar Risto yang sudah tidak disadari telah mendahului Dayat.
“Jangan, Ris. Nggak bagus pagi-pagi udah makan yang asem-asem. Udah kena tanah lagi buahnya. Entar perut kamu mules lagi.” saran Dayat padanya.
“Dikit aja, Yat. Kamu nih manja banget. Nih, aku buka satu, ya.” sahut Risto dengan sedikit menggoda.
“Yaelah, keras kepala banget sih, Ris.” komentar Dayat dengan judes.
“Uuuhh, asem banget! Tapi enak loh, hehehe. Cobain gih, Yat.” ucapnya sambil menyodorkan buah dengen ke mulut bocah kulit sawo matang itu.
“Eh, aku ada ide nih. Kita main perang dengen yuk. Mau nggak?” tanya Risto dengan muka-muka liciknya. Tanpa sempat mendengar larangan Dayat, ia pun mengambil sebuah dengen dari tanah dan langsung saja melempari tubuh Dayat dengan dengen tersebut. Sekali-kali, lemparannya meleset dari sasaran dan mengenai pengunjung yang mulai berdatangan untuk mengisi weekend mereka.
            Tiba-tiba, di tengah keseruan mereka bermain, bu Aini, guru Kimia mereka di sekolah, menghampiri kedua anak itu. Dengan tidak sengaja, lemparan Dayat dan Risto langsung mengenai guru mereka itu.
 “Ckck, kalian ini. Daripada kalian bermain yang dapat membahayakan orang lain itu, lebih baik gunakanlah buah-buah dengen ini agar bermanfaat untuk orang banyak.” kata bu Aini.
“Maksud Ibu?” tanya Risto dengan spontan.
“Cepat kumpulkan semua buah ini dan ikut ibu!” balas bu Aini tanpa menghiraukan pertanyaan Risto sebelumnya. Setelah dengen-dengen itu terkumpul cukup banyak, bu Aini langsung mengajak mereka ke suatu tempat.
            “Kemarin ibu mendapat kiriman email dari teman ibu di Surabaya bahwa akan ada Lomba Karya Ilmiah tingkat SMP. Karyanya bertemakan pemanfaatan hasil alam dari daerah asal masing-masing. Hadiahnya lumayan besar. Ibu langsung kepikiran dengan buah khas dari Nuha ini, yaitu buah dengen. Kebetulan tadi Ibu ketemu dengan kalian, ya udah Ibu ajak aja kalian untuk ikut lomba ini.” jelas bu Aini panjang lebar.
“Lah, terus, kita mau buat apa dengan buah-buah ini, Bu?” tanya Dayat.
“Kita akan buat pembangkit listrik sederhana dari tenaga asam buah dengen. Gimana, bagus kan?” usul bu Aini.
“Hah? Emangnya bisa, Bu? Selama ini kan yang ada cuma pake tenaga air, angin, sama panas matahari doang.” sahut Risto.
“Bisa, nanti kalian akan mempelajari tentang sifat-sifat asam-basa di SMA. Jadi, kalian mau kan ikut lomba ini?” tanya bu Aini memastikan.
“Mau, Bu!” jawab Dayat dan Risto serentak.
            Tak terasa, azan dzuhur mulai berkumandang. Betapa lamanya waktu mereka habiskan untuk membicarakan proyek perlombaan. Akhirnya, Risto dan Dayat pulang ke rumah masing-masing. Niat Risto yang ingin memberitahu mamak bahwa ia akan mengikuti lomba tingkat nasional, lagi-lagi dibalas dengan amarah. Jelas saja mamak marah, tadi pagi Dayat meninggalkan rumah tanpa pamitan. “Mak, Dayat dan Risto bakal ikut Lomba Karya Ilmiah! Hebat kan?” Dayat mulai membuka pembicaraan siang itu.
“Oh, ya? Memangnya kalian mau buat apa? Kamu mau dapat uang dari mana untuk ikut lomba gituan? Ada-ada saja kau ini.” balas mamak.
“Nggak bakal mungut biaya dari kita kok, Mak. Bahan proyeknya pun tinggal mungut di pinggir danau. Kita bakal buat buah dengen jadi pembangkit listrik tenaga alternatif. Keren kan? Ini semua idenya bu Aini. Beliau yang ngajak Dayat bareng Risto.” jelas Dayat. Sambil tersenyum, ibu Dayat berkata, “Kalau begitu, kau belajar baik-baik dan persiapkan dirimu untuk lomba ini, ya. Maafkan mamak kalau sering memarahimu.” Dengan spontan, Dayat pun tersenyum dan segera memeluk ibunya
            Keesokan harinya di bawah teriknya sang surya, Risto dan Dayat berjalan menyusuri pinggir Danau Matano untuk mengumpulkan lebih banyak lagi buah dengen sebagai tambahan kemarin. Setelah terkumpul banyak, mereka pun bergegas ke rumah bu Aini untuk melakukan eksperimen proyek mereka.
“Selamat siang. Bu Aini!” sahut mereka dari luar rumah.
“Eh, kalian udah pada dateng. Ayo masuk!”, ajak bu Aini kepada kedua muridnya itu. Mereka pun masuk dan berkumpul di dapur. Siang itu menjadi hari yang menyibukkan bagi Dayat, Risto, dan tentu saja bu Aini. Berbekal dengen, blender, elektroda, dan papan indikator mereka melakukan percobaan. Berkali-kali mereka mengalami kegagalan. Entah itu karena ada sambungan pada kabel elektroda yang putus ataupun pH dari asam buah dengennya.
“Duh, gimana nih? Dari tadi lampu indikatornya nggak ada yang nyala.” keluh Dayat pada kedua rekan kerjanya.
“Iya, gimana dong, Bu?” Risto pun mulai ikut panik.
“Tenang, kita sama-sama mencari sumber masalahnya. Kalian jangan putus asa, ya?” Bu Aini memberikan mereka semangat.
            Akhirnya, percobaan mereka berhasil. Kerja keras mereka akhirnya terbayar. Seminggu kemudian mereka siap-siap terbang ke Surabaya untuk mempresentasikan hasil karya ilmiah mereka yang inovatif dan ramah lingkungan.
“Yat, kita udah ada di pulau Jawa! Selama ini, untuk ke Makassar aja kita susah banget, nah sekarang kita bahkan udah ada di Surabaya.” kata Risto penuh semangat di salah satu aula fakultas di Institut Teknologi Surabaya.
“Alhamdulilah, Ris. Nggak sia-sia kita main perang dengen waktu itu. Hehehe.” balas Dayat dengan canda sambil menyinggung bu Aini secara tidak langsung.
“Anak-anak, kalian presentasinya yang bagus, ya. Pede aja, jangan sampai blank. Ibu yakin, kalian pasti bisa.” seru bu Aini memberikan support kepada anak-anak didiknya.
“Iya, Bu. Makasih buat semangatnya ya, Bu.”
            Presentasi pun dimulai. Seluruh peserta dari seluruh Indonesia bersatu di ruangan tersebut, ruangan yang akan menjadi saksi bisu tumbuhnya tunas-tunas baru harapan bangsa dan tentunya daerah asal masing-masing. Kini, tiba giliran perwakilan dari sekolah Dayat dan Risto untuk mempresentasikan karya ilmiah mereka yang tergolong sederhana, namun sangat inovatif. Secara bergantian mereka menjelaskan asal mula dan proses kerja proyek mereka di depan dewan juri dan para peserta lainnya. Waktu pun terus bergulir dan akhirnya sesi presentasi selesai. Dewan juri pun telah menentukan karya siapa yang berhak menjadi juara untuk Lomba Karya Ilmiah SMP itu.
            Tibalah dewan juri mengumumkan pemenang lomba. “Dan yang menjadi pemenang Lomba Karya Ilmiah tahun 2015 adalah.....SMPN 7 Nuha!”. Terkejut. Ya, itulah yang dirasakan ketiga orang tersebut. Dengan kaki yang tak bisa berhenti bergetar, Dayat dan Risto maju mengambil piala penghargaan.
“Selamat Dayat, Risto. Ibu bangga sama kalian!”, ucap bu Aini sambil menyalami kedua anak itu.
“Ini semua berkat Ibu! Ibulah yang telah mengajak kami untuk mengikuti kompetisi ini. Terima kasih banyak, Bu.” jawab Risto sambil memeluk ibu gurunya itu. Mereka pun kembali ke Sulawesi dengan perasaan yang campur aduk, salah satunya adalah rindu ingin bertemu keluarga.
            Sepuluh tahun kemudian, desa tempat tinggal Dayat dan Risto sudah tidak lagi menjadi tempat beroperasinya perusahaan nikel tersebut. Suplai listrik yang susah kembali menjadi kekhawatiran warga desa. Namun, semua kekhawatiran itu telah dimusnahkan oleh seorang pemuda asal desa itu sendiri. Dayat, bocah berkulit sawo matang itu telah tumbuh dewasa. Prestasi yang pernah ia raih bersama sahabat dan guru Kimianya itu mengantarkan ia menjadi seorang pengusaha sukses dari kecamatan Nuha, bahkan di kabupaten tempat ia berdomisili. Walaupun sudah berhasil dan mapan, ia berjanji tidak akan pernah meninggalkan tanah kelahiran dan tempat ia tumbuh, Soroako. Mulai saat itu, Desa Soroako dapat memancarkan sinarnya sendiri di malam hari. Tidak dengan tenaga air, angin, ataupun panasnya matahari yang sering membakar tubuh Dayat saat ia kecil dulu, melainkan dari hasil alam yang dahulu sering tidak dipedulikan oleh masyarakat, yakni buah dengen

*** End***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar